Mereka tumbuh sebagaimana yang kami harapkan, bisa menjaga akhlak, bergaul tapi tidak terwarnai, menjaga shalat dan belajar saling menyayangi diantara mereka.
Suatu pagi aku sarapan nasi uduk di komplek perumahan tempat kami tinggal. Sekira jam tujuh saya sengaja jalan ke warung nasi uduk itu. Sengaja saya memilih jalan kaki sekalian mengendurkan otot-otot kaki.
Jaraknya juga tidak jauh sekira 100 meteran atau setara dengan panjang lapangan sepak bola. Sesampai di warung saya langsung pesan nasi. "Uduk Bu makan disini," kata saya.
Ibu penjual pun langsung melayani tetapi dia riweh karena anak kecil sekira umur lima tahunan merengek menangis minta digendong, sementara masih ada bahan gorengan yang belum diolah.
Si Ibu beberapa kali terlihat marah dan ada tiga kali mengeluarkan nada ancaman kepada anak kecil itu. Saya yang mendengarkan berupaya merilekskan suasana agar Ibu ini juga rileks.
"Udah Bu biar saya ambil sendiri minumnya," kata saya ke dia. Sesekali saya juga mengajak bicara anak kecil itu agar tidak tantrum.
"Ade kenapa nangis, cape ya? Mau gendong. Bentar ya Mamanya goreng bakwan dulu. Tuh depan ramai amat, tuh lihat," hibur saya kepada anak itu.
Namanya juga anak-anak ketika tantrum begitu, ngambek, nangis dan terkadang kita orangtua tidak paham soal tantrum apalagi peristiwa terjadi bersamaan ketika orangtua sedang aktivitas, seperti ibu ini yaitu berjualan.
Dan saya baru tahu kalau anak kecil ini bukan anak si Ibu melainkan cucu. "Oow ini cucu Bu," tanya saya memastikan dan dijawab iya.
Saya semakin terenyuh dan prihatin. "Ya Allah, iya yah. Orangtua tetap disibukan oleh anaknya sampai cucunya," gumam saya dalam batin.
Tapi dalam konsep saya tidak masuk menitipkan anak kepada orangtua setiap hari dengan alasan apapun. Kalau sewaktu-waktu masih dimaklumi tapi kalau setiap hari tidak masuk dalam konsep keluarga saya.
Ada beberapa alasan tapi yang paling utama adalah soal membangun karakter anak. Ketika anak dititipkan kepada orangtua setiap hari maka otomatis ada pola asuh yang dilakukan orangtua kita, sementara saya dan istri menginginkan pola asuh berbeda dengan orangtua kami.
Disini anak nanti akan bingung, apakah pola asuh orangtuanya atau pola asuh kita yang akan diikuti. Itu adalah alasan penting mengapa saya dan istri sepakat untuk tidak menggunakan jasa pengasuh anak.
Kalau toh ada dulu pernah, dia bukan kami tugaskan mengasuh anak tapi membereskan rumah, nyapu dan nyetrika baju sedangkan urusan ngasuh anak tidak saya berikan ke orang ini.
Alhamdulillah kami diberi kekuatan, kesabaran, kelapangan dan ilmu sembari belajar mendidik, mengasuh empat anak kami, yaitu Ayu Fadia, Gagah Alfasya, Gigih Alfasya dan Galih Alfasya.
Mereka tumbuh sebagaimana yang kami harapkan, bisa menjaga akhlak, bergaul tapi tidak terwarnai, menjaga shalat dan belajar saling menyayangi diantara mereka.
Apakah lelah? pasti lelah. Apakah cape? pasti cape, tapi ini komiteman saya dan istri sebagai orangtua dan menjadi keputusan kami tentang bagaimana memberikan pola asuh yang optimal untuk empat anak kami.
Kami terus berlajar menyesuaikan level tumbuh kembang anak karena empat anak kami juga berbeda karakter. Ada yang dominan otak kanan, otak kiri jadi kami terus belajar agar bisa adaptasi sesuai dengan pertumbuhan anak.
Mendidik empat anak tanpa pembantu memang lelah tapi terasa nikmat kalau kita bisa memaknai. Saya sampaikan ke istri jangan ada dalam pikiran kita ketika mendidik lalu diniatkan agar nanti setelah kita tua dan anak-anak sukses kita bisa hidup enak karena dilayani mereka. Jangan pernah Mi, berpikiran seperti itu.
Niatkan bahwa ketika kita mendidik anak untuk menunaikan amanah dari Tuhan secara bertanggungjawab. Bukan untuk menerima balas budi kita yang telah mendidik anak saat kecil dan remaja, jangan.
"Kalau kita niatkan mendidik anak agar setelah masa tua kita hidupnya enak karena dijamin anak-anak, nanti akan kecewa. Karena bukan begitu konsep Islam tentang anak," kata saya ke istri.
Dan istri mengerti dan paham tentang apa yang saya maksud. Sebagaimana saya mengatakan kepada istri jangan niatkan untuk mencari nafkah ketika dia bekerja, karena itu bukan tanggungjawab istri melainkan suami.
"Niatkan ibadah, aktualisasi ketika kerja jangan niatkan cari nafkah karena itu merusak tatanan sosial dalam rumah tangga sebagaimana Islam mengatur," kata saya ke istri dan dia happy karena akhirnya bekerja tanpa beban.
Alhamdulillah anak-anak tumbuh kembang dengan baik secara utuh, baik sisi pondasi Agama meski belum sempurna, pergaulan, karakteristik dan pikirannya. Ayu Fadia, Gagah Alfasya, Gigih Alfasya dan Galih Alfasya.
0 Komentar